MODAL DASAR SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN
Eksistensi suatu destinasi sangat dipengaruhi juga oleh kondisi demography selain geography wilayah setempat. Faktor sosial dan budaya (socio-culture) merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengembangan kepariwisataan termasuk destinasi pariwisata. Selanjutnya berpengaruh pada kebutuhan pendanaan, sumber daya manusia, dampak ekologis, kebutuhan teknologi, pemasaran dan sebagainya. Pertimbangan untuk penguatan dan optimalisasi Social Capital di suatu destinasi akan mampu mengakeselerasi kemajuan wilayah setempat. Teori Prof Butler telah semakin banyak terbukti, bahwa destinasi pariwisata membawa penyebab kehancuran/kerusakannya sendiri. Triknya adalah dengan mengelola destinasi pariwisata sehingga tidak akan rusak dengan sendirinya ("...tourism destinations carry with them the seeds of their own destruction. The trick is to manage tourism destinations so that they do not self-destruct. ~ Butler, 1980).
Banyak pengamat memberikan pandangannya bahwa terkadang kurang dilibatkannya pendekatan bottom-up dalam hal ini masyarakat sebagai garis terdepan di destinasi pada program pengembangan destinasi menjadi salah satu dominasi kelambatan serta tantangan yang dihadapi di destinasi.
Gambar : TALC by Prof Butler (sumber : researchgate.com)
Kondisi demikian dapat menjadi potensi konflik baru yang dapat merugikan banyak pihak di destinasi termasuk pelaku usaha / bisnis pariwisata selain pemerintah sendiri. Sebaliknya, pendekatan dengan pola top-down manjadi srategi sekaligus solusi efektif di beberapa wilayah lainnya. Artinya, modal dasar sosial di masyarakat ini tidak bisa dianggap remeh dan diabaikan begitu sajaHal ini akan erat kaitannya dengan posisi dan di fase mana destinasi tertentu berada yang dapat digambarkan dengan permodelan Tourist Area Life Cycle (TALC) yang diciptakan oleh Butler (1978)
Model fase TALC dikembangkan dari keilmuan pemasaran dan bisnis melalui model Product Life Cycle (PLC) yang sangat terkenal dikalangan product manager dan marketter. Dan telah banyak diterapkan karena sangat membantu pengelola destinasi untuk mengetahui daerahnya di fase bagian mana. TALC berkonsep linear dan dikategorikan menjadi 6 fase yang meliputi
EXPLORATIONS
Fase eksplorasi ini merupakan kondisi dimana suatu daerah baru mulai akan mengembangkan daerahnya menjadi destinasi wisata. Diawali dengan mengangkat tema dan potensi yang dimiliki secara umum yaitu alam dan budaya. Sebagian besar belum tergarap secara terstruktur dan merupakan fase awal ketika pemerintah daerah dan masyarakatnya mulai memikirkan untuk mengembangkan pariwisata di wilayah tersebut karena menemukan potensi dasar yang dimiliki. Pada saat ini sebenarnya program perencanaan visi dan konsep pariwisata mulai dirancang dengan melibatkan seluruh komponen terkait termasuk masyarakat setempat dengan nilai sosial yang ada. Kita bisa melihat contohnya ketika program Destinasi Super Prioritas dicanangkan oleh pemerintah pusat muncul nama destinasi pariwisata baru yakni Likupang (Sulawesi Tenggara). Informasi detail tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang bisa diklik pada link https://kek.go.id/kawasan/KEK-Likupang
INVOLVEMENT
Fase keterlibatan ini merupakan suatu kondisi dimana pengembangan destinasi wisata mulai serius dilakukan dan sektor pariwisata mulai menjadi sumber pendapatan baik pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha. Aspek 3A dalam pengembangan destinasi sudah mulai tampak (aksesibilitas, atraksi, amenitas) dan mulai berkembang, investor mulai tertarik untuk berbisnis, pembangunan infrastruktur dasar tersedia seperti jalan, bandara, fasilitas kesehatan, dan program pemberdayaan masyarakat. Kita bisa melihat contohnya pada pengembangan kawasan Mandalika dimana berbagai komponen terlibat di dalamnya selain pemerintah sebagai inisiator juga terdapat pengembangan desa wisata, peningkatan kualitas dan kapasitas akses jalan, pembangunan hotel berbintang dan sebagainya. Modal nilai sosial dilibatkan seperti pemberdayaan potensi budaya di wilayah Sade, arsitektural bangunan dan sebagainya. Informasi detail tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika bisa diklik pada link https://kek.go.id/kawasan/KEK-mandalika
DEVELOPMENT
Fase pengembangan ini merupakan tahapan dimana identifikasi potensi dan strategi sudah terlewati dan diterapkan dengan baik. Destinasi mulai dikenal dan terdapat kunjungan wisatawan dengan kunjungan meningkat secara signifikan. Pengembangan pada pemenuhan kebutuhan pasar dan travel trend semakin tampak. Nilai sosial yang ada dioptimalisasi menjadi produk wisata dan paket wisata yang berkualitas tanpa mengurangi nilai sosial budaya yang ada. Kita bisa melihat contohnya di kawasan Pulau Padar - NTT dimana terdapat habitat satwa langka komodo yang mampu menarik minat wisatawan seluruh dunia sejak dahulu untuk berkunjung. Destinasi ini semakin dikembangkan terus termasuk penambahan fasilitas pendukung berkelas dunia seperti waterfront harbour, conference venue dan sebagainya. Informasi detail tentang destinasi super prioritas Labuan Bajo bisa diklik pada https://labuanbajoflores.id/boplbf
CONSOLIDATION
Fase konsoldiasi ini merupakan tahapan dimana kondisi pertumbuhan pariwisata di suatu destinasi mulai melambat. Banyak hal yang dapat menjadi penyebabnya, seperti kualitas SDM, ragam daya tarik yang monoton, kurangnya fasilitas pendukung dan sebagainya. Mempertimbangkan bahwa destinasi tersebut sempat terkenal namun kurang mampu bersaing dengan destinasi lain, maka konsolidasi dibutuhkan dengan salah satu strategi adalah optimalisasi sumber daya yang ikonik dan juga nilai sosial yang ada di masyarakat. Kita bisa melihat kawasan Danau Toba yang masuk dalam wilayah 8 kabupaten di sekitarnya mendapat banyak keluhan dari wisatawan. Mulai dari keramahan masyarakat, rendahnya kualitas produk wisata, akses dari Medan (bandara utama yang sangat jauh), sampah di danau Toba dan sebagainya. Dengan dibentuknya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPOTB) di bawah Kemenparekraf akhirnya dapat mengkonsolidasikan potensi dan kebutuhan-kebutuhan untuk peningkatan kualitas destinasi di kawasan Danau Toba. Program kolaboratif melibatkan pemerintah provinsi dan seluruh kabupaten di sekitar danau Toba. Informasi detail tentang destinasi super prioritas Danau Toba bisa diklik pada https://www.bpodt.id/
STAGNATIONS
Fase stagnan atau jenuh ini merupakan kondisi dimana dampak langsung dan tidak langsung dari massive tourism. Kondisinya sangat jelas terlihat seperti sampah, degradasi sosial budaya, dan juga kemacetan lalu lintas yang tinggi. Tanpa melakukan inovasi yang revolusioner, destinasi seperti ini akan semakin ditinggalkan wisatawan dan dapat menjadi ancaman ekonomi ke depannya. Degradasi yang terjadi pada sosial budaya termasuk perubahan perilaku masyarakat setempat salah satunya disebabkan juga oleh mulai terpinggirkannya nilai dan modal dasar sosial yang ada di masyarakat. Kita bisa melihat contoh destinasi yang mulai tampak dan semakin berinovasi saat ini adalah Bali khususnya di wilayah selatan yang sejak 1 dekade terakhir sudah diwacanakan sebagai over tourism destination. Akibatnya wisatawan yang awalnya penuh di daerah Kuta dan Legian mulai bergeser ke Canggu, Perean hingga Tanah Lot untuk kawasan Barat dan ke Amed, Sidemen dan Tejakula di kawasan Timur. Informasi tentang destinasi pariwisata Bali bisa diklik pada https://disparda.baliprov.go.id/
REJUVENATION AND DECLINE
Fase peremajaan dan penurunan ini merupakan hasil lanjutan dari fase stagnan yang tidak menemukan solusi yang tepat dalam berinovasi untuk keluar dari kejenuhan destinasi. Peremajaan adalah inovasi yang tepat untuk mengembalikan karakteristik suatu destinasi karena keunggulan kompetitif yang dimilikinya tidak mampu disaingi oleh destinasi lainnya. Strategi peremajaan bisa berupa restorasi, limitasi, improvisasi dan sebagainya. Sebagai contoh kita melihat kawasan Candi Borobudur di Jawa Tengah yang merupakan 1 dari 7 keajaiban di dunia yang diketahui pada belakangan ini tampak mulai ada kerusakan-kerusakan baik skala kecil maupun sedang pada beberapa bagian candi. Penyebab utama tentunya jumlah pengunjung yang tidak terkontrol dan dibatasi sehingga berpotensi untuk kerapuhan, kerusakan dan ketidaknyamanan wisatawan ke depannya. Akhirnya diambil langkah limitasi yaitu membatasi jumlah pengunjung perharinya dan menaikkan harga tiket masuk. Upaya perawatan dan perbaikan candi tetap dilakukan. Informasi detail tentang destinasi super prioritas Borobudur bisa diklik pada https://bob.kemenparekraf.go.id/destinasi/
Contoh modal dasar sosial berupa pelestarian pakaian adat dalam industri kepariwisataan (photo koleksi pribadi)
Dari pembahasan TALC di atas kita semua harus menyadari dan menguatkan kembali modal dasar sosial masyarakat yang ada di destinasi. Mengingat kultur sosial yang ada tidak bisa dilepaskan dari aktifitas wisata di destinasi. Semoga destinasi pariwisata semakin kuat dan tangguh.
Salam INSPIRASI,
KETUT SWABAWA