Pengembangan desa wisata akhir-akhir ini semakin menggeliat di berbagai daerah. Ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa minat masyarakat dalam memberdayakan potensi wilayah yang dimiliki semakin tinggi.
Aktifitas wisata yang berkonsep pariwisata berbasis masyarakat ini (community based tourism) akan dapat menjadi winning strategy dalam menggerakkan ekonomi di daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ada hal yang sangat esensial ditemukan ketika menjadi narasumber pada sesi West Java Tourism Talks Vol 7 dengan 4 agenda di Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kegiatan berlangsung pada 28 Oktober hingga 04 November 2024.
Hampir sebagian besar diskusi berfokus pada sistem kelembagaan pengelolaan desa wisata yang masih rancu dan tanpa integerasi yang baik dari stakeholders yang ada. Pengembangan dan pengelolaan desa wisata merupakan rangkaian integrasi dari aspek kelembagaan, aspek 3A (aksesibilitas, atraksi, amenitas), inovasi produk wisata, pelayanan prima hingga aspek keberlanjutan. Sehingga yang terjadi selama ini seperti contoh dengan adanya wisata kebun serta merta menjadi desa wisata itu adalah masih parsial.
Karena wisata kebun dimaksud merupakan salah satu daya tarik wisata (DTW) atau dikenal dengan nama objek wisata. Jadi baru DTW yang merupakan bagian dari berbagai DTW di dalam desa wisata. Permasalahan muncul ketika nomenklatur desa wisata dipakai namun tidak menyertakan peran Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sesuai SK Pembentukan Pokdarwis yang diajukan oleh Pemerintah Desa / Kampung / Kelurahan. Pokdarwis memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai penggerak pengembangan kawasan wisata, menguatkan gerakan sadar wisata melalui sapta pesona, memberi masukan dan melakukan kontrol terhadap kondusifitas di destinasi pariwisata.
Pemangku kepentingan lainnya meliputi Pemerintah Desa untuk menerbitkan Peraturan Desa tentang Pengembangan Kawasan Wisata. Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang merupakan lembaga yang sah berbadan hukum untuk mengelola dan menjalankan usaha yang bersifat ekonomi. Sementara pihak lain yang terlibat juga adalah tidak kalah pentingnya peranan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam), PKK, Karang Taruna, Kelompok Wanita Tani, Pelaku Usaha Wisata serta lembaga lainnya.
Dan untuk menguatkan pengelolaan desa wisata agar harmonis dan berkelanjutan dibutuhkan pengaturan lainnya selain Perdes / Perkal / Perkam yaitu AD/ART, Kode Etik Wisata, MOU antar usaha di dalam desa wisata, Tata Tertib wisatawan di homestay serta lainnya. Tujuan lainnya adalah untuk melindungi potensi lokal (SDM, alam, budaya, tradisi, peluang usaha) dan tidak mengabaikan aspek-aspek historis kultural wilayah setempat. Jadi penghormatan terhadap hukum adat, budaya dan nilai kearifan lokal ini menjadi pedoman dalam upaya pelestarian potensi dan nilai kearifan lokal agar tidak didominasi oleh misi meraih manfaat ekonomi semata.
Untuk pengembangan community based tourism pada program desa wisata yang berkelanjutan sesuai aspek pengelolaan, dampak sosial ekonomi, budaya dan ekonomi maka keharmonisan seluruh pemangku kepentingan terkait (stakeholders) wajib untuk diupayakan. Sehingga semua unsur tersebut dapat menjadi local champion (tim penggerak) yang saling bersinergi dalam keterlibatan sesuai peran, fungsi dan tanggung jawab masing-masing secara terintegerasi.
Salam INSPIRASI,
Ketut SWABAWA