Sustainability (keberlanjutan) merupakan wacana global yang banyak dibahas dalam berbagai aspek, tak terkecuali pada industri pariwisata.
Bahkan sejak masa pemulihan pandemic COVID-19, pembangunan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan semakin menjadi momentum seiring kesadaran penduduk dunia akan kesehatan dan kebutuhan yang ketergantungan pada alam. Bagi market segment tertentu, suatu usaha yang concern pada aspek keberlanjutan memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga harga yang lebih mahal tidak begitu berpengaruh membuat calon konsumen untuk berpaling. Dalam suatu survey dari salah satu online travel agent di era pandemi menunjukkan bahwa wisatawan menganggap pariwisata berkelanjutan sangat penting (93%), berkomitmen memilih opsi wisata berkelanjutan (72%), serta akan memilih akomodasi yang menerapkan praktek ramah lingkungan (98%).
Intinya, sustainability merupakan upaya dan tanggung jawab semua pihak secara bersama-sama. Bagi pihak industri yang berorientasi bisnis, sustainability concept sekaligus menjadi bahan promosi dalam marketing strategy. Namun wisatawan dan publik juga semakin peka saat ini; mencermati praktek – praktek keberlanjutan yang konsisten dan komprehensif. Tanpa disadari, penerapannya kurang tepat dan mudah ditebak kekeliruannya. Kondisi ini disebut Greenwashing ; yakni strategi suatu perusahaan dengan mempromosikan konsep sustainability pada produk atau jasa yang ditawarkan untuk menarik minat konsumen atau public, namun perusahaan tersebut tidak konsisten dalam praktek operasionalnya. Istilah ‘greenwashing’ pertamakali dipopulerkan oleh Jay Westerveld dalam ulasannya (1986) untuk mengkritik himbauan ‘hemat handuk’ bagi tamu hotel yang menginap.
KONSUMEN SEMAKIN CERDAS, JAGA KUALITAS !
Dengan kata lain, greenwashing identik dengan kampanye ‘sustainability’ berjalan parsial atau tidak secara utuh sesuai nilai-nilai keberlanjutan semestinya yang harus terintegerasi, konsisten dan kontinyu dengan pengukuran yang evaluatif. Sebagai contoh dalam industri perhotelan sangat mudah kita temukan kampanye peduli lingkungan seperti ‘save water’ atau ‘save our earth’. Tamu yang menginap dihimbau untuk berhemat dalam menggunakan air dan menutup keran air jika tidak digunakan. Namun terkadang ditemukan keran air atau instalasi air di garden hotel ada yang bocor, apalagi area back of house seperti rest room untuk karyawan yang kurang mendapat penanganan yang cepat ketika ada kerusakan. Demikian juga dengan himbauan untuk menaruh handuk di tempat yang ditentukan jika masih layak bersih dan akan digunakan kembali agar tidak terlalu sering dicuci sehingga tidak menyebabkan kerusakan lingkungan akibat penggunaan detergent dan konsumsi air berlebihan. Faktanya di sisi lain, cleaning chemical semuanya berbasis zat kimia dengan konsentrasi tertentu demi mencapai tingkat kebersihan yang sempurna, lebih cepat dan praktis. Sama halnya dengan menu organic food yang dijual di restoran memang benar bahannya diambil dari kebun organic milik hotel atau supplier khusus, namun kemasan ingredient-nya menggunakan bahan plastik sekali pakai dan sterilisasi gudang penyimpanan masih menggunakan zat kimia. Hal lain yang dilihat langsung oleh tamu menginap di hotel dan dianggap sebagai bentuk ‘greenwashing’ adalah garbage bag yang dipakai untuk mengumpulkan sampah dari kamar-kamar tamu berbahan plastik sekali pakai yang jelas sulit terdegradasi dan akan merusak alam, juga cara penanganan soil linen yang kurang proper (tergeletak di lantai, diikat sekedarnya) yang menyebabkan pencuciannya akan menggunakan extra detergent atau chemical serta air pencucian lebih banyak tentunya.
Sering kita mendengar bahwa sustainability adalah proses, perjalanan dan usaha yang berjalan terus. Hal ini sangat benar dan kita sepakat. Sustainability bukanlah hasil atau akhir. Oleh karenanya, praktek sustainability harus didasari pada 5 aspek di operasional yang meliputi : SOP, komitmen manajemen, partisipasi karyawan, sistem pengawasan mutu dan rencana perbaikan. Kelima aspek ini dijadikan komponen yang terintegerasi dan dikelola secara komprehensif. Secara tidak langsung ke-5 aspek tersebut akan mencerminkan 4 pilar utama konsep sustainability yakni : 1) kelembagaan (SOP dan rencana perbaikan); 2) sosial budaya (partisipasi karyawan); 3) lingkungan (sistem pengawasan mutu); dan 4) ekonomi (komitmen manajemen).
HATI-HATI GREENWASHING DAPAT MENDEGRADASI BUSINESS VALUE ANDA !
Di era digital seperti sekarang termasuk akibat pengaruh Artificial Intelligence (AI) kita harus semakin bijak dan penuh kesadaran bahwa konsumen memiliki akses yang luas untuk melakukan pengecekan dan perbandingan. Parsialisasi penerapan konsep sustainability yang terdeteksi oleh (calon) konsumen atau bahkan wisatawan yang telah menginap akan mengurangi trust pada suatu brand atau product.
Pada akhirnya kita juga harus menyadari bahwa penerapan konsep sustainability membutuhkan biaya, bahkan tidak sedikit. Namun dengan pengelolaan yang tepat dan konsisten, sustainability memberikan multiplier effect yang dapat dinikmati saat ini dan masa mendatang. Intangible value dari gerakan konsep sustainability ini sangat tinggi dan merupakan public trust yang dapat menguatkan brand positioning suatu produk dan perusahaan. Dengan kondisi seperti ini, memulai tahapan yang benar walau belum menyeluruh mungkin akan lebih baik progress-nya daripada menerapkan konsep sustainability namun berbenturan penerapannya satu sama lain. Biaya operasional tetap harus keluar namun dampak positifnya diragukan oleh konsumen. Kesuksesan total penerapan konsep sustainability adalah ketika upaya-upaya untuk pelestarian dan komitmen menjaga keberlangsungan alam ini menjadi suatu budaya di lingkungan yang melibatkan seluruh pihak terkait. Sehingga edukasi program ini sangat penting untuk menguatkan pemahaman dan kesadaran untuk menerapkan konsep sustainability secara utuh dan konsisten.
Salam INSPIRASI,
KETUT SWABAWA